LAMPUNG17.COM (SMSI) Bandar Lampung -Setiap kali langit gelap dan hujan mulai turun deras di Bandar Lampung, warga tidak lagi memikirkan soal payung atau jas hujan. Yang mereka pikirkan adalah air—bukan untuk diminum, tapi yang akan masuk ke rumah mereka, menenggelamkan harta benda, dan memaksa mereka mengungsi. “Bukan soal apakah banjir akan datang,” kata seorang warga di Kelurahan Beringin Raya, “tapi seberapa parah kali ini.”
Bandar Lampung, kota dengan pertumbuhan ekonomi yang membanggakan di atas kertas, telah berubah menjadi langganan banjir setiap musim hujan. Ironisnya, di tengah genangan dan keluhan warga, pemimpinnya sibuk mencari kambing hitam. Perusahaan, warga, bahkan pemerintah pusat—semua disalahkan. Tapi satu pihak yang luput dari evaluasi adalah orang yang memegang kendali tertinggi: Wali Kota Eva Dwiana.
15 Tahun Dinasti, Tak Ada Solusi
Eva Dwiana menjabat sebagai Wali Kota sejak 2021. Namun jejak kekuasaan keluarga ini jauh lebih panjang. Suaminya, Herman HN, adalah Wali Kota Bandar Lampung dua periode sebelumnya. Praktis, selama 15 tahun terakhir, arah kota ini ditentukan oleh satu keluarga yang sama.
Namun waktu panjang itu tak membawa perubahan signifikan. Banjir masih menjadi tamu tahunan, bahkan kini semakin parah. Tahun 2025 disebut-sebut sebagai banjir terbesar dalam satu dekade terakhir, dengan kerusakan mencapai miliaran rupiah dan ribuan warga terdampak.
Kota Kekurangan Ruang Bernapas
Salah satu penyebab utama banjir adalah minimnya Ruang Terbuka Hijau (RTH). Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 mewajibkan setiap kota memiliki minimal 30% RTH dari luas wilayahnya. Bandar Lampung? Hanya sekitar 5%.
Tanpa cukup ruang untuk meresap air, kota ini menjadi seperti baskom yang dipaksa menampung lebih dari kapasitasnya. Sistem drainase yang buruk dan tidak terawat memperparah situasi. Banyak saluran air tersumbat oleh sampah, sebagian lainnya justru tertutup bangunan baru.
Saat Banjir Datang, Wali Kota Terlambat
Warga sering merasa dibiarkan sendiri. Saat banjir menerjang, bantuan datang terlambat. Beberapa warga mengaku Wali Kota baru muncul di lokasi beberapa hari setelah kejadian. Dan saat datang pun, tak ada yang benar-benar dibicarakan soal pencegahan jangka panjang—yang dibawa hanyalah nasi bungkus dan janji.
Kekecewaan warga semakin memuncak ketika wali kota lebih sering melempar tanggung jawab ke pihak lain. PT Pelindo II dituding sebagai penyebab banjir pelabuhan, Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) disalahkan karena proyek jalan, bahkan masyarakat pun diminta introspeksi soal kebersihan.
Menyalahkan Adalah Cara Termudah Menghindari
Dalam psikologi sosial, ini dikenal sebagai actor-observer bias: kecenderungan menyalahkan faktor eksternal saat diri sendiri gagal, tapi menyalahkan karakter pribadi orang lain ketika mereka gagal. Sayangnya, bias ini bukan hanya bentuk ketidaksadaran, tapi bisa jadi strategi sadar untuk mempertahankan citra di tengah krisis.
Eva Dwiana tampaknya lebih sibuk menyelamatkan wibawa ketimbang menyelamatkan warganya dari air bah yang datang setiap tahun.
Apa yang Dibutuhkan Kota Ini?
Bandar Lampung butuh pemimpin yang mau memegang cermin, bukan menunjuk jari. Kota ini tak perlu lagi pemimpin yang menunda tindakan, apalagi yang sekadar muncul saat kamera hadir. Ia membutuhkan kepemimpinan yang akuntabel, seperti digambarkan dalam buku The Oz Principle—pemimpin yang mengakui masalah, mencari solusi, dan bertindak.
Bandar Lampung tak kekurangan insinyur, pekerja lapangan, atau aktivis lingkungan. Yang kurang hanya satu: kemauan politik untuk benar-benar memimpin.
Banjir di Bandar Lampung bukan sekadar bencana alam. Ia adalah akumulasi dari kebijakan yang salah arah, perencanaan yang buruk, dan kepemimpinan yang menghindar. Warga sudah lelah berharap pada janji. Mereka hanya ingin pemimpin yang turun tangan—bukan yang sibuk menunjuk tangan. (BAL)